Menjadi Garam
Di penghujung tahun 2014 dan awal 2015, saya punya resolusi baru untuk hidup lebih sehat lagi (plus, melangsingkan badan. Hehehe...). Saya mencoba satu teknik diet yaitu diet mayo. Prinsipnya sederhana, walau sulit dilakukan. No SALT, no RICE, dan no ICE.
Tanpa nasi dan tanpa es sih, mudah lah ya karena saya juga sudah terbiasa dan membiasakan diri untuk nggak terlalu banyak makan nasi.
Tapi makan tanpa garam?
Ternyata, saya nggak bisa. Tapi untungnya saya dapat menyelesaikan diet mayo 13 hari. Puji Tuhan turun 4kg. Dengan susah payah. Dengan seribu kangen pada garam. Yang tadinya saya sepelekan, ternyata saya butuh banget.
Sulit ternyata, untuk hidup tanpa garam. Bahkan makanan manispun, memakai garam.
Sejak diet mayo, saya mengerti mengapa Yesus bilang tentang "Kamu adalah garam dunia" waktu Ia khotbah di bukit.
Saya baru sadar tentang arti menjadi garam itu.
Garam dibutuhkan di mana saja.
Di soto, di puding, di nasi goreng, di kue, di berbagai tempat. Begitupun dengan kita. Kita (selayaknya dan seharusnya) adalah garam dunia, orang yang dibutuhkan oleh dunia ini. Kita memberi rasa pada dunia yang tawar ini.
Dengan kehadiran kita, dunia akan jadi lebih indah, berwarna, dan memiliki rasa. Kita, dibutuhkan di mana saja. Kehadiran kita akan sangat diinginkan oleh orang-orang di sekitar kita. Bukankah itu indah? Sejak diet mayo, selain badan yang lebih sehat, sayapun jadi mengerti akan hal ini. Ya, saya mau banget jadi garam dunia dan memang, kita ADALAH garam dunia.
Saya jadi berpikir bahwa ya, saya pingin dibutuhkan oleh dunia, at least oleh orang-orang yang hidup dan berelasi dengan saya. Saya ingin memberi warna di kehidupan saya dan mereka, saya ingin bisa membuat orang lain tersenyum, saya ingin jadi garam.
Apakah Anda juga mau?
Penuh Kasih,
-Natasha-
Comments
Post a Comment